Rabu, 20 November 2013

Sebagai tenaga profesional,  semestinya  guru menjalankan tugas berdasakan pada ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya sendiri. Apalagi guru sudah diakui sebagai tenaga pofesional.  Sebagaimana seorang dokter, maka tugas guru dibimbing oleh kemampuan dirinya sendiri, dan bukan atas petunjuk orang lain di luar dirinya. Seorang dokter sebagai seorang profesional dalam menjalankan profesinya, baik dalam memerikna pasien maupun  memberikan obat tidak perlu petunjuk orang lain. Obat apa saja yang diberikan olehnya  kepada para pasien yang diperiksa adalah haknya dan berdasar  profesi  yang bersangkutan.

Bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya bahwa  yang terpenting adalah pasiennya menjadi sehat, dan mereka  bertanggung jawab atas profesi yang diembannya  itu. Semestinya seorang guru profesional juga seperti  dokter itu. Guru seharusnya diberi peluang untuk menentukan bahan pelajaran, cara mengajar, alat peraga yang digunakan untuk mengajar, dan bahkan juga tatkala melakukan evaluasi yang  dijalankan. Tugas profesional guru adalah di antaranya menjadikan para siswanya menguasai mata pelajaran yang diajarkan. Guru juga seharusnya mengetahui apa saja yang diperlukan oleh siswanya, baik sebagai individu, warga negara, dan bagian dari umat beragama.

Peran ideal guru tersebut selama ini belum terwujud. Guru hanya bertugas untuk menyampaikan bahan pelajaran di hadapan siswanya. Bahan pelajaran itu telah ditentukan dan bahkan termasuk buku teks dan cara mengajarkannya. Guru tidak boleh mengajarkan sembarangan sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.  Keberhasilan guru diukur dari seberapa banyak target yang ditetapkan  bisa  dicapai. Di dalam kelas,  guru harus menyampaikan bahan pelajaran yang telah ditentukan. Demikian pula murid harus memahami dan menghafal sebagaimana petunjuk yang ada. Hal seperti itu menjadikan kehidupan di sekolah bagaikan mesin, semua serba diatur. Dengan demikian, guru tidak sekedar sebagai tukang, melainkan juga sebagai skrup nesin persekolahan itu.

Gambaran tersebut tentu sangat kontradiktif dengan peran sekolah yang seharusnya menjadi pusat pembudayaan. Mengembangkan nalar, intelektual, dan juga kecerdasan hati semestinya tidak dilakukan dengan cara-cara kaku seperti  itu. Mengisi pengetahuan  para peserta didik seharusnya tidak dipandang sama dengan mengisi gelas atau botol dengan air. Manusia sangat berbeda dengan botol atau gelas. Boleh saja  otak manusia diisi dengan informasi atau ilmu pengetahuan, tetapi jangan disamakan dengan gelas. Gelas yang utuh atau tidak bocor, setelah diisi bisa dilihat, apakah sudah penuh atau belum. Isi otak manusia tidak bisa dilihat, kecuali dengan cara dan ukuran-ukuran yang bersifat subyektif.        

Menghadapi kharakter manusia seperti itu, para guru mestinya diberi otoritas penuh. Mereka dipersilahkan untuk mengajar sesuai dengan kemampuannya. Guru profesional mestinya sudah mengerti apa yang dibutuhkan oleh muridnya. Hal itu persis seperti dokter, mereka tahu kebutuhan pasiennya. Sebagaimana dokter, guru semestinya juga diberi kebebasan untuk memilih bahan atau apa yang akan diajarkan. Kalau pun harus diberi pedoman, maka pedoman itu seharusnya  berupa garis besar, berupa target, atau standar.  Misalnya,   lulusan  SMA dalam pelajaran Bahasa Inggris, maka mereka harus bisa bercakap-cakap ringan dengan bahasa asing itu antar temannya.  Pelajaran matematika, harus  menjadikan siswa mampu  menyelesaikan soal-soal pada tingkat tertentu. Selain itu, semua hal terkait dengan pengajaran diserahkan kepada guru sebagai tenaga profesional.

Manakala guru harus dituntun-tuntun sebagaimana yang terjadi sekarang ini, maka apa bedanya guru dengan  tukang. Padahal guru bukan tukang. Guru adalah tenaga profesional. Memang diperlukan keseragaman di antara berbagai sekolah yang setingkat. Akan tetapi, apakah keseragaman itu benar-benar bisa diwujudkan, tatkala seorang anak jelas berbeda dibanding botol dan gelas.  Selain itu, apa gunanya membuat target  harus seragam, manakala pikiran, jiwa, hati, dan lain sebagainya  itu,  tidak akan mungkin diseragamkan. Apalagi, manusia adalah makhluk unik. Mengingkari  itu semua akan  sama artinya dengan  mengabaikan kepentingan peserta didik yang seharusnya ditumbuh-kembangkan  secara utuh dan menyeluruh. Wallahu a’lam. 

Kutipan dari Prof. Dr. KH Imam Suprayogo 

2 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb

    Menurut bapak, ciri-ciri guru yang profesional, itu cirinya apa saja?

    Terima kasih

    Wassalamualaikum wr.wb

    BalasHapus
  2. Salah satunya mampu jadi figur bagi muridnya
    Sebagai figur yang akan dicontoh siswa, guru harus memiliki kedisiplinan. Kedisiplinan sangat penting dimiliki oleh seorang guru agar mampu menciptakan perubahan perilaku positif baginya dan bagi siswa di dalam kelas.

    BalasHapus