Selasa, 19 November 2013

             Semua orang pasti berfikir sebenarnya apa yang terjadi terhadap bangsa ini. Sehingga bangsa Indonesia tak bangga dengan statusnya sendiri. Segudang masalah menimpa bangsa ini : terorisme yang merajalela, hukum yang tak jelas, kriminalitas dimana mana, premanisme, kemiskinan yang makin pesat, konflik yang tak kunjung selesai, pornografi yang mengakar dan korupsi yang tak pandang bulu.
Pertanyaannya kenapa semua itu bisa terjadi? Bukankah kita sudah menyelenggarakan pendidikan moral dan pendidikan karakter? Lalu, bagaimana untuk menjelaskan tindakan-tindakan di atas yang perlu dilakukan oleh orang-orang terdidik, dari institusi-institusi dan lembaga-lembaga terhormat di negeri ini?
Faktor yang paling mendasar tentu saja adalah kegagalan system pendidikan kita dalam mencetak pemimpin yang jujur dan bawahan yang patuh. Setidaknya, kita bisa melihat adanya kesalahan sistem dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga ruh dari pendidikan itu tidak mengena pada peserta didik. Inilah yang kemudian memicu krisis multidimensi di negeri ini sebab krisis besar yang melanda bangsa ini sesungguhnya bermuara pada rendahnya nilai-nilai moral.
Ada yang menarik mengenai problem pendidikan di negeri ini. Bagaimana mungki soal ujian nasional yang akan didistribusikan ke daerah oleh pusat memerlukan pengawalan ketat dari kepolisian. Sebegitu parahkah moral bangsa ini sehingga di lembaga pendidikan saja sepertinya nilai kejujuransedemikian jarang. Bagaimana mungkin pemberantasan korupsidapat dilakukan, sedang institusi yang menjadi sumber kejujuran dan budi pekerti demikian rapuh. Ini belum persolana lain seperti tingginya kriminalitas, pergaulan bebas dikalangan remaja dan masih banyak persoalan hukum yang lainnya. Lantas, siapakah yang sepatutnya diletakan dalam posisibersalah dalam persoalan diatas?
Menjawab pertanyaan ini tentunya sangat sulit dan setiap pihak yang dituduh dipastikan akan membela diridengan menyodorkan beberapa pembelaan. Menyangkut krisis moral yang melanda negeri ini stidaknya kita dapat melihat adanya factor utama yang kemudian diikutifaktor dan variable yang semuanya butuh dikoreksidan memerlukan pembenahan. Factor utamanya adalah kegagalan pada system pendidikan kita dalam membentuk manusia cerdas, beriman, bertaqwa, serta berbudi pkerti luhur dan beraklhak mul;ia, sesuai yang telah diamanatkan. Kemudian, factor ini diikuti oleh factor pemicuberupa lngkungan yang tidak mengajarkan nilai – nilai moral serta minimnya penyaringan informasi dan budaya yang masuk ke Indonesia.
Dengan demikian, kita temukan sebuah jawaban mengenahi siapa yang harus bertanggung jawab atas merosotnya moral bangsa ini. Yang paling bertanggung jawab  adalah lembaga pendidikan, bukan hanya system yang dijalankan tetapi semua elemen yang bergerak di dunia pendidikan. Sampai saat ini upaya untuk membentuk budi pekerti yang luhurdi sekolah – sekolah bukannya tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, pendidikan moral dan budi pekerti baru bersifat teori dan pengtahuan semata, sebagaimana tertuang dalam pelajaran Pkn dan agama. Belum masuk dalam tataran praktik sehingga pelajaran tersebut tidak betul – betul melekat dalam karakter siswa. Terlebih, standar kelulusan dalam pendidikan moral hanya diukur bagaimana anak dapat menghafal, menganalisis serta mampu menjawab soal ujian, sedangkan watak dan perilaku anak tidak menandai sebagaimana keberhasilan proses pembelajaran.
System seperti ini berdampak pada perilaku anak sehingga terjadi kesenjangan antara pengetahuan moral dengan perilaku mereka. Pendidikan moral belum menyentuh pada karakter mereka sehingga tidak membentuk pola piker dan perilaku mereka menjdi lebih bermoral. Sebab, seseorang dapat disebut sebagai orang yang berkarakter bik apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral, baik dalam ajaran agama ataupun norma masyarakat.
Kemudian lemahnya proses pendidikan moral ini diperparah oleh lingkungan sekitar yang sepertinya tidak mendukung mereka untuk menjadi orang baik. Penayangan sinetronyang tidak mendidik, penyebaran video porno di beberapa situs internet yang tak terkontrol, hingga kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak. Eksploitasi besar – besaran oleh media dengan pemberitaan pejabat korupsi, artis terlibat narkoba, kejahatan seksual dan pejabat yang mempertotonkan konflik membuat anak – anak kehilangan figure yang semestinya dapat mereka teladani. Akibatnya, masyarakat mulai mengabaikan nilai – nilai norma dan agama, sehingga memicu pertumbuhan krisis moral lebih pesat.
Parahnya, pengaruh teknologi demikian mencengkram seperti handphone yang memiliki fitur internet atau kamera, hingga membuat anak – anak mudah mengakses gambar porno atau kekerasan. Terlebih dengan menjamurnya warnet – warnet yang tak membatasi akses untuk anak – anak. Kemudian, banyak orangtua yang tak mau tahu urusan anaknya. Mereka memberikan keleluasaan penuh pada anak – anaknya untuk memegang HP. Padahal seberapa pentingkah penggunaan HP oleh anak di usia sekolah?
Justru, dapat membuat anak tumbuh dengan kebebasannya sehingga mempergunakan HP di luar norma dengan menyimpan video porno dan mesum lainnya. Rata – rata kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak usia sekolah karena ingin meniru adegan porno yang disimpan diponsel mereka. Terkadang mereka merekam video mesum yang mereka lakukan sehingga membuat heboh dimedia massa. Terlebih lagi, tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya mulai menurun. Mereka seperti tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anak anak disekitarnya, karena mungkin sibuk dengan urusan masing – masing atau takut pada pembelaan orang tua saat sang anak ditegur.
Inilah yang kemudian mengakibatkan hamper seluruh sendi kehidupan bermasyarakat mengalami penyimpangan karena terkontaminasi oleh cara – cara hidup yang tidak benar di masyarakat yang telah menjadikan penyimpangan sebagai kebiasaan, bukan sebagai kesalahan. Akhirnya seorang anak lepas kendali sehingga degradasi moral dalam wujud tindakan asusuila dianggap lumrah. Tradisi maksiat jadi kebanggaan dan kenakalan  remaja dianggap biasa. Mengenahi tindakan – tindakan penyimpangan masyarakat kadang ber apologi “ sudah zamannya “
Dengan demikian, penyelesaian krisis moral ini tidak bisa dilakukan oleh lembaga sekolah saja, tetapi memerlukan gerakan banyak pihak, pengelola lembaga pendidikan, pemerintah, agamawan, orang tua dan masyarakat. Semuanya harus bergerak dengan gerakan yang dapat melahirkan persepsi bahwa nilai moral lebih tinggi dari sekedar pengetahuan semata. Menanamkan persepsi seperti ini tentunya harus dimulai dari bangku sekolah yang kemudian diperkuat oleh kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, guru dituntut bukan hanya memiliki kompetensi, skill yang tinggi serta kemampuan dan penguasaan terhadap materi ajar, tetapi juga memiliki keunggulan lain dalam bidang penanaman moralitas dan nilai nilai etika. Dalam pelajaran matematika misalnya, bukan hanya sekedar menitikberatkan pada objektifitas angka dalam penjumlahan, tetapi juga diajarkan bagaimana karakter mereka menjadi benar dengan nilai kejujuran. Hingga seorang anak tidak hanya tumbuh dengan pengetahuan yang cerdas, tetapi juga tidak mudah mempermainkan angka yang berujung pada korupsi dan penipuan.
Kemudian pembenihan dibangku sekolah ini disertai oleh dukungan masyarakat, sesuai dengan tugas dan fungsi masing – masing. Pemuka agama yang bertugas memberikan bimbingan kepada masyarakat tentang moral dan etika, orang tua mengawasi perilaku anak saat di rumah, dan pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur perilaku masyarakat yang brpihak pada adat dan tata moral bangsa. Mislanya, dengan membatasi pemakaian HP untuk anak usia dini, semisal sampai tingkat SMA, menyeleksi tayangan televise yang tidak mendidik. Insan pers, khussunya televise, bertugas menyajikan tayangan uang menddidik, tidak sekedar tontonan tetpai sekaligus tuntunan. Bagaimanapun persoalan budaya dan moral adalah segalanya sehingga tidak bisa dikaitkan dengan persoalan bisnis semata. Cerita – cerita yang berisikan pergaulan bebas, tawuran antar geng, kenakalan saat belajar disekolah, pergaulan bebas dan perselingkuhan, perilaku tidak sopan pada guru dan orang tua, budaya kekerasan dan aniaya, menonjolkan sifat iri dan dengki serta perilaku yang licik adalah tema – tema yang seharusnya tidak ditayangkan karena dapat membius dan menggeser nilai – nilai budaya dan moral banmgsa. Upaya guru di sekolah dalam membentuk karakter murid akan runtuh seketika saat anak menontonnya.
Artinya, tugas moralitas bangsa ini memerlukan kerjasama anatar semua elemen elemen bangsa. Tanpa adanya kerja sama, pendiddikan moral dan etika yang diberikan disekolah akan sulit berhasil. Bagaimana mungkin sebuah bangunan moral berdiri megah dan indah saat orang – orang yang peduli berusaha memperbaikinya sementara yang lain terus membongkarnya!?


1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb

    Menurut bapak, sebagai generasi muda bangsa Indonesia, apa yang harus kami lakukan agar kita mencintai sejarah & budayanya sendiri, bukan mencintai sejarah & budaya bangsa lain?

    Terima kasih

    Wassalamualaikum wr.wb

    BalasHapus